


Di perjalanan pulang, kamu menemukan tongkat sihir yang bersinar sinar. Entah mengapa, tongkat itu seperti memanggilmu!
++ Democracy max level
Akal sehat dari pemimpin planet kami sudah diperdaya oleh roh jahat. Dengan kekuatanmu, aku yakin kamu bisa menaklukkannya!Planet kami akan hancur jika kamu tidak segera bertindak. Kami butuh bantuanmu untuk mengalahkan tirani 。:゚(;´∩`;)゚:。Kamu akan mengalahkannya dengan skill ini.Demokrasi atau kerakyatan adalah bentuk pemerintahan yang keputusan-keputusan penting, baik secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari masyarakat dewasaLandasan demokrasi mencakup kebebasan berkumpul, kebebasan berserikat dan kebebasan berbicara, inklusivitas dan kebebasan politik, kewarganegaraan, persetujuan dari yang terperintah, hak suara, kebebasan dari perampasan pemerintah yang tidak beralasan atas hak untuk hidup, kebebasan, dan kaum minoritas.
Mereka adalah beberapa prajurit planet kami. Kamu akan mendapatkan misi yang berbeda-beda setiap rekan yang kamu pilih.
Tuan Dermawan dan Nona Tak Berguna.
oleh Queensha Zaskia Fadilla
Ketika aroma lemon dan laut sudah menyebar di udara musim panas, semuanya bersiap untuk pemilihan penerus tahta kerajaan selanjutnya. Kali ini, kandidatnya hanya ada dua; Pangeran Adeel dan Putri Aisha.Saat kedua kandidat diumumkan, negri ini menjadi ricuh. Semuanya menuntut sang putri untuk turun dari kompetisi. Ketika mereka melihat adanya kesempatan bagi wanita untuk memimpin, seketika segala kejahatan yang dilakukan Pangeran Adeel dilupakan. Jejak kekejiannya seolah-olah lenyap. Semuanya ditutup-tutupi agar Putri Aisha bisa dipastikan tidak akan naik tahta.Aku adalah Yafa, pelayan setia Putri Aisha. Aku lah yang menyaksikan segalanya. Dari bagaimana nona bersedia untuk berterimakasih dan meminta maaf kepada bawahannya, sampai bagaimana lelaki bejat itu menumpahkan teh yang masih panas pada wajah kolegaku. Astaga. Ingin ku tikam dirinya dengan pisau roti. Tapi aku tidak sebodoh itu untuk mencobanya.Pangeran Adeel dibesarkan untuk menjadi seorang prajurit. Mungkin di otak kecilnya, hanya ada perang, perang, dan perang. Tidak pernah diajarkan untuk menjadi manusia. Terlebih, yang memiliki hati nurani. Entah apa yang dipikirkan sang raja saat memilih dirinya.Sedangkan Putri Aisha... Oh, nona... Beliau bagai lentera yang menuntun jalan, bak surya yang menerangi gelap gulitanya malam. Dia memiliki semua kualitas yang seharusnya ada di dalam seorang pemimpin. Baik hati, bijaksana, dan dapat dipercaya.Meskipun begitu, nona masih lah seorang wanita dengan hati yang lembut. Begitu terkejutnya aku saat melihat dirinya berlutut di sudut kasur, mencoba untuk meredam tangisnya. Aku segera menghampirinya. Ku usap lembut punggungnya. "Ada apa, nona?"Remuk hatiku saat dia mencengkeram bajuku dengan genggaman lemahnya, "Yafa... Aku lelah. Tak sudi mereka memilihku. Lantas, untuk apa ini semua? Apakah aku hanya objek pelampiasan amarah mereka?"Dengan hati-hati, ku selipkan helai rambutnya dibelakang telinga. "Tak usah di dengar, nona. Sungguh, demokrasi di negeri ini sudah mati. Namun, Nona Aisha yang ku tahu tidak akan pernah menyerah untuk memperjuangkan negeri ini."Melegakan sekali ketika aku melihat sudut bibirnya melengkung ke atas saat aku usap air mata dari pipinya. Ia mengangguk. "Kau benar, Yafa. Aku harus tetap kuat untuk rakyatku."___Sejak saat itu, kedua kandidat menjalankan kampanyenya masing masing. Pangeran Adeel menjanjikan 50 keping koin emas bagi siapapun yang memilihnya. Sedangkan untuk Putri Aisha, beliau menawarkan ilmu. Nona ingin semua perempuan di negeri ini mendapatkan edukasi yang setara dengan para lelaki. Tak memandang latar belakangnya, ia menerima semua perempuan dari semua kalangan yang hendak menuntut ilmu. Didirikannya lah sekolah kecil dengan dana yang ia dapatkan untuk mensponsori kampanyenya.Yang berniat tidak sebanyak mereka yang mendewakan 'Pangeran Adeel Sang Dermawan', tetapi semua anggotanya memiliki pemikiran yang matang. Dengan berjalannya waktu, mulai bermunculan para lelaki dari latar belakang tidak mampu, berkehendak untuk menuntut ilmu pula. Nona mengatakan kepada mereka bahwa ambisi mereka untuk belajar bukanlah sesuatu yang memalukan. Itu lah yang akan mendorong negeri ini ke depan.Amarahku benar benar ingin meledak saat aku harus mendampingi Putri Aisha ke makan malam yang sudah di siapkan oleh sang raja sebelum hari pengumpulan suara. Hanya dengan melihatnya saja, aku tahu pasti kalau pelayan pangeran itu sungguh membenci tuannya. Selama makan malam berlangsung, ia hanya bisa memandang lantai. Sesekali memainkan jemarinya yang penuh luka akibat hukuman dari tuannya."Untuk apa memberi rakyat jelata edukasi, kakak? Percuma. Mereka hanya bisa mengemis pada akhirnya," ujar sang pangeran seraya ia menggerakkan pisau dan garpunya."50 koin emasmu itu mungkin bisa menghidupi mereka untuk 10 tahun kedepan. Tetapi ilmu pengetahuan hidup selamanya." Bagus sekali nona. Senang aku melihat wajah masam pangeran itu.Sebelum Pangeran Adeel ingin melontarkan makiannya pada putri, seorang pria dengan pakaian camping menerobos masuk ke dalam ruang makan."Penyihir! Tangkap dia!" pria itu menunjuk Putri Aisha sebelum dia ditarik pergi dengan para penjaga. Ha! Mana mungkin nona seorang penyihir. Bicara omong kosong apa dia ini?Saat itu juga, sang raja pingsan.Semua mata langsung tertuju pada yang dianggap penyihir. "Tangkap putri dan pelayannya!"Lelaki sialan.___Malam ini adalah malam yang sangat berat bagi Putri Aisha. Aku harus mendekapnya erat dan membisikkan kata-kata manis untuk menenangkannya. Aku yakin ini semua pasti rencana busuk pangeran untuk mendapatkan mahkota. Putri terus menangis di dekapanku. Tetapi bukannya ia mengkhawatirkan dirinya sendiri, melainkan malah mengkhawatirkan ayahnya. Nona... Tidak akan pernah sekalipun di hidupku meragukanmu.Paginya, kami diseret ke ruang sidang. Ketika mereka baru saja melihat batang hidung sang Putri, mereka langsung berteriak. "Gantung dia! Eksekusi! Penyihir!" Jika tanganku tidak di kekang dengan rantai, sudah ku jambak satu persatu para bangsawan yang memihak pada Pangeran Adeel.Pria itu memegangi dadanya seakan akan dia bersedih. Padahal aku bisa melihatnya menyeringai kecil. "Wanita keji ini meracuni ayahnya sendiri! Oh, Yang Mulia... Itu adalah dosa besar yang tidak bisa diampuni lagi!"Ular licik! Aku mencoba menghampiri pangeran, tetapi rantai di kaki dan tanganku menggagalkan niatku. "Hamba selalu berada di sampingnya. Dan tidak pernah sekali pun hamba mendapati putri berniat buruk bagi orang lain!" jelasku.Setelah argumentasi panjang, akhirnya pengadilan memutuskan untuk membawa rakyat jelata tadi yang menuduh putri sebagai seorang penyihir. Ia menelan ludahnya gugup setiap pertanyaan yang dilontarkan padanya.Awalnya dia berpihak sepenuhnya terhadap Pangeran Adeel. Tetapi saat ia disuruh bersumpah atas nama Tuhan, pertahanannya runtuh. Dia mengaku mendapat suapan dari sang Pangeran. Memang dia ingin kaya, tetapi dia lebih takut miskin di akhirat. Karena mau selihai apapun ia berdusta, Tuhan pasti tahu yang sebenarnya.___Dan semenjak itu lah, negeri ini semakin makmur dengan Putri Aisha sebagai pemimpinnya. Pangeran Adeel dan semua yang terlibat sudah ditangkap atas percobaan untuk melukai sang raja. Mulai muncul juga perempuan dengan pekerjaan yang tidak mengharuskan mereka untuk duduk dengan cantik di rumah.Aku, Yafa, hanyalah seorang pelayan. Tapi aku justru bangga bisa melayani nona. Aku tidak malu karna aku tidak memilih yang salah.
Keputusan
oleh Aji Risma Noor Alviana
Rasa muak Arsar bisa dirasakan hanya dengan melihat wajahnya yang kusut. Semalaman mata hitam kecokelatan itu tidak mendapatkan istirahat, yang semula putih jernih berubah memerah seperti ditetesi perasan jeruk asam.Ia benar-benar dihantui oleh pikirannya. Sungguh bingung.Malam dini hari diadakannya rapat atau sidang pengambilan keputusan di gedung DPR terkait Revisi Undang-Undang KPK. Benar, malam ini puncaknya bagi Arsar. Ia harus secepatnya mencari jalan sebelum pada tahap musyawarah.Semalam sebelum pemuda itu ingin membersihkan diri Jalal tiba-tiba meneleponnya, ia mengatakan pada Asrar bahwa besok tahap pertama rapat atau persidangan pasti tidak akan sah karena sebagian anggota yang hadir menolak atas adanya revisi, dan pastinya tahap kedua akan terjadi dengan mengambil suara yang paling banyak di antara dewan. Tujuan Jalal menghubungi Asrar adalah untuk membuatnya berdiri di barisan dewan yang menyetujui adanya revisi."Ayolah, Asrar ..., ini bukan untuk kita, ini untuk rakyat! Suara kami akan unggul jika kau bersama kami. Jangan sampai pihak yang menolak menang besok, malahan jika suara mereka yang menang itu juga akan berdampak buruk bagi mereka. Kau tahu, Asrar? Aku dengar ada yang mengirim beberapa orang besok, mereka ditugaskan untuk menghabisi kita jika revisi itu tidak disahkan! Pikirkan baik-baik, Asrar."Ingatan tersebut membuat Asrar meremas rambutnya kasar. "Tidak jelas, apa dia pikir aku bodoh?" Batin pemuda itu.Ia sejak tadi bukan memikirkan masalah ia harus berpihak pada siapa, ia memikirkan ancaman yang akan terjadi."Orang-orang kiriman untuk menghabisi mereka."Jika benar itu terjadi semisalnya revisi ini ditolak, apakah mereka sungguh akan datang? Lalu bagaimana cara mencegahnya? Asrar sungguh was-was, sudah beberapa kali ia memperbaiki posisi tubuhnya.Musyawarah pun dimulai dengan dibuka oleh pimpinan sidang. "Silakan, kami beri kesempatan kepada perwakilan fraksi yang menyetujui revisi Undang-Undang KPK terlebih dahulu. Waktu lima menit, silakan." Secara bersamaan tubuh Asrar seketika melemas."Terima kasih, Pimpinan." Salah satu anggota DPR Fraksi Pendukung Revisi—Fraksi A menundukkan kepalanya sedikit. "Rekan-rekan yang saya hormati, revisi ini bukan sekadar perubahan pasal, tapi langkah strategis untuk memperkuat sistem kelembagaan. KPK perlu diatur agar lebih profesional. Pegawai KPK menjadi ASN itu wajar—kita ingin ada standar etik, ada akuntabilitas, dan tidak berjalan sendiri di luar sistem negara. KPK lembaga penting, tapi bukan lembaga super power yang kebal dari pengawasan. Dan soal Dewan Pengawas, mari kita rasional. Kewenangan penyadapan, penggeledahan—itu semua sangat rawan. Kita tidak bisa membiarkan kekuasaan sebesar itu tanpa mekanisme kontrol. Apakah kita ingin melahirkan lembaga represif baru di luar hukum? Ini justru bagian dari penguatan, bukan pelemahan."Sebagian anggota memberi tepuk tangan.Mendengar itu Asrar langsung terpancing, pikiran-pikiran yang membuatnya ingin muntah seketika lenyap. Seperti luntur begitu saja.Keputusannya tidak akan pernah berubah.Langsung pemuda itu menarik dan membuang napas perlahan, meyakinan dirinya. Benar, kenapa ia malah memikirkan hal yang masih bersifat kemungkinan? Ia pun mempersiapkan dirinya untuk menanggapi.Akan tetapi ada yang memanggilnya dengan berbisik. "Asrar, kau atau aku?"Asrar menyahut. "Duduk saja dengan manis, Niah," pintanya mantap.Lalu tanpa pikir panjang pemuda itu langsung memperbaiki posisi dan mengambil mikrofon di depannya—langsung menyambar. "Pimpinan, izinkan saya menanggapi. Kami menghormati niat untuk memperbaiki, tapi jangan membungkus pelemahan dengan kata 'penguatan'."Asrar menatap ke arah Jalal. "Apa yang disebut pengawasan dalam revisi ini justru membuka celah intervensi politik. Dewan Pengawas dipilih Presiden—sementara KPK sering menangani kasus yang bersinggungan langsung dengan eksekutif. Apakah itu tidak menjadi konflik kepentingan? Mengenai ASN—ini bukan hanya soal administrasi, ini soal independensi."Ia diam sejenak, matanya memperhatikan satu persatu anggota Fraksi A. "Saudara-saudara sekalian, kita semua tahu betapa birokrasi kita masih jauh dari bersih. Apakah kita ingin memasukkan KPK ke dalam lingkaran yang selama ini justru menjadi objek penyelidikan mereka?" Asrar tidak bisa menahan, ini termasuk luapan emosi sebelumnya.Jalal langsung menyela. "Tapi bukan berarti tanpa pengawasan! Justru lembaga yang kuat harus bisa diawasi!" Wajahnya sangat kesal.Tak sempat menyahut, dari belakang Niah langsung bersuara. "Kami tidak menolak pengawasan, kami menolak pengawasan yang bisa dikendalikan. Itu dua hal berbeda. Penyadapan yang harus minta izin dulu? Sementara kejahatan korupsi itu cepat dan licin? Kita sedang bicara tentang efektivitas pemberantasan korupsi, bukan soal idealisme prosedural." Nadanya terdengar lembut, tapi terasa tegas.Pimpinan sidang sigap menengahi. "Mohon tenang, Bapak-Ibu. Kami minta masing-masing fraksi menyampaikan argumen secara bergiliran."Jalal masih tidak terima atas apa yang telah ia saksikan. "Tapi kami ingin tegaskan—kami tidak pernah berniat melemahkan KPK. Justru kami ingin lembaga ini lebih tertib, lebih akuntabel, dan tidak lagi bekerja seperti 'negara dalam negara'. Kalau memang kita ingin KPK kuat, mari kita perbaiki tata kelolanya.Niah meladeni. "Kalau ingin KPK kuat, jangan cabut giginya. Jangan batasi langkahnya. Jangan ubah sistemnya secara tergesa-gesa dan diam-diam, seperti yang terjadi dalam proses ini. Rakyat di luar sana sudah bicara; mereka menolak revisi ini karena mereka tahu, ini bukan soal profesionalitas—ini soal kekuas ...." Secara mendadak terdengar suara tembakan dari belakang.Percikan darah terjatuh pada bahu Asrar. "Niah ...?" Pupil pemuda itu mengecil.Ketika itu juga lampu ruangan sidang padam.Tidak ada yang kaget, tidak ada yang panik. Sungguh lengang setelah suara tembakan itu menguasai ruangan, seakan ini telah diatur.
Yang Anti Sains
oleh Chiara Saddiya
Sebuah karangan yang berandai-andai, dapat kah ini terjadi di kemudian hari?Di suatu negeri yang dahulu gemilang dalam semangat demokrasi, di mana suara rakyat didengar dan ilmu pengetahuan menjadi penuntun kebijakan, perlahan-lahan sesuatu yang kelam mulai terjadi. Para pemimpin yang dulu dipilih dengan janji mendengar aspirasi, kini menjelma menjadi penguasa yang tuli terhadap kritik. Mereka tak lagi memedulikan suara akademisi—orang-orang yang menghabiskan hidup mereka mencari kebenaran demi kepentingan bersama.Ketika para ilmuwan ekonomi memperingatkan bahwa kebijakan fiskal yang diambil pemerintah akan membawa negara pada krisis, mereka dicap sebagai penyebar pesimisme. Ketika para ahli lingkungan bersuara bahwa proyek-proyek besar merusak keseimbangan ekosistem, mereka diberi label sebagai penghambat pembangunan. Dan ketika para pakar hukum menyoroti bagaimana kebijakan-kebijakan baru menggerus hak-hak rakyat, mereka disebut sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional.Seiring waktu, suara akademisi kian dibungkam. Universitas yang dahulu menjadi pusat kebebasan berpikir kini dipaksa tunduk pada aturan ketat. Dosen dan peneliti yang berani berbicara kehilangan jabatan mereka. Media massa yang mencoba mengangkat suara mereka ditekan hingga akhirnya memilih diam.Awalnya, masyarakat biasa tak terlalu peduli. Mereka menganggap para akademisi hanya sekelompok orang yang hidup dalam teori dan tidak memahami realitas politik. Namun, perlahan-lahan, dampak dari kebijakan yang dibuat tanpa pertimbangan ilmiah mulai dirasakan. Inflasi meroket, pengangguran meningkat, bencana alam terjadi lebih sering akibat eksploitasi yang tak terkendali, dan ketidakadilan hukum makin terasa nyata di kehidupan sehari-hari.Ketika akhirnya rakyat menyadari bahwa negara mereka telah berubah menjadi tirani yang dibungkus dengan nama demokrasi, semuanya sudah terlambat. Protes yang meletus di berbagai kota dihadapi dengan kekerasan. Setiap perlawanan dihancurkan dengan dalih keamanan nasional. Demokrasi yang dulu menjadi kebanggaan negeri itu kini tak lebih dari ilusi.Namun, di balik bayang-bayang penindasan, masih ada secercah harapan. Sejumlah akademisi yang tersisa, bersama dengan rakyat yang masih berani bermimpi, mulai bergerak dalam senyap. Mereka mengumpulkan bukti, menyusun strategi, dan merancang perubahan. Sebab, meskipun suara mereka telah lama dibungkam, gagasan-gagasan mereka tetap hidup. Mereka percaya bahwa demokrasi yang sejati tidak akan pernah mati, selama masih ada orang yang berjuang untuk membangkitkannya kembali.
Jangan Salah Pilih, Ya!
oleh Naily Najwa Azahra
Suatu hari, di kelas dua belas sedang ramai memperdebatkan siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin di negara mereka. Ada tiga pilihan yang pertama, anriza beliau adalah aktivis dan mantan gubernur di daerah mereka. Kedua raroro beliau dua ikut pemilihan presiden namun tak pernah menang, banyak rumor buruk beredar tentang beliau. Ketiga ganuar beliau mantan gubenur jawa tengah sekaligus politisi."Mending pilih raroro! Beliau kan menteri pertahanan pasti negara kita bakal aman kalo dia yang mimpin!", ucap murid bernama nui. Nadanya yang ketus membuat teman-teman nya geram akan komentar nya.
"Mauk banar! Dia kan penjahat pengecut! Mending anriza lah, udah berkependidikan, cakap berbicara dan juga beliau orang-orangan aktivis beuhhh...udah bagus itu", Ucap tira sambil memakai logat samarinda.
"Diam! Ribut betul kalian ini mending ganuar lah..kapan lagi kita dapat presiden mirip gojoar satoru. Ucapan iki membuat teman-teman nya teheran, bagaimana bisa salah satu orang terpintar di kelasnya mempunya opini seperti anak kecil."Huh! Apasih iki ikut campur aja, pilihan mu itu paling gabener! Ucap nui
"Enak aja! Inikan pilihan ku bukan pilihan mu terserah lah aku pilih siapa! Balas ikiPerseteruan mereka makin memanas, nui yang keras kepala dan iki yang tak tahu apa salahnya beropini tentang pilihannya membuat ketua kelas mereka ruru geram akan mereka.
"DIAM GA KALIAN, RIBUT BANGET SIH!"
Suara ruru berdengung di telinga nui dan iki, mereka pun menghentikan perseteruan mereka sejenak.
Setelah teriakan Ruru yang menggelegar, kelas mendadak sunyi. Semua mata tertuju padanya. Wajahnya merah padam menahan emosi."Kalian ini kenapa sih? Bukannya diskusi malah debat kusir! Gak ada yang mau ngalah, gak ada yang mau dengerin pendapat orang lain!" seru Ruru dengan nada tegas.
Nui mendengus sambil melipat tangan di dada. "Lah, emang pendapat dia aneh banget sih, masa milih pemimpin cuma gara-gara mirip karakter anime!"Iki melotot. "Ya kan suka-suka aku! Lagian pemimpin itu gak cuma soal pengalaman, tapi juga soal karisma!"Tira tertawa kecil. "Uma' ai Iki... pemimpin itu bukan idola, tapi orang yang beneran bisa kerja buat rakyat."Ruru menghela napas panjang. "Udah cukup! Kita semua punya pilihan masing-masing, tapi kalau kita malah ribut kayak gini, apa gunanya demokrasi?"Kelas kembali diam. Beberapa murid mulai berpikir ulang tentang cara mereka berdebat.
Lalu, seorang murid bernama Rendi yang dari tadi hanya memperhatikan mengangkat tangan. "Gimana kalau kita bikin debat beneran? Biar semua pilihan dijelaskan dengan baik, dan kita bisa menilai tanpa ribut."
Semua saling berpandangan. Ide itu terdengar lebih masuk akal daripada terus berdebat tanpa arah.Ruru mengangguk. "Baik! Besok kita adakan debat. Tiap kelompok boleh membela calon masing-masing, tapi dengan aturan yang jelas dan tanpa serang-menyerang. Setuju?"Perlahan, satu per satu murid mengangguk setuju. Nui, Iki, dan yang lainnya akhirnya menerima bahwa adu argumen harus dilakukan dengan cara yang benar.
Dengan keputusan itu, kelas dua belas akhirnya bersiap untuk debat besar mereka sebuah ajang yang tidak hanya akan menguji wawasan politik mereka, tapi juga kedewasaan dalam berpendapat.
Keesokan harinya, suasana kelas dua belas berbeda dari biasanya. Semua murid tampak sibuk menyiapkan argumen mereka. Ruru, sebagai ketua kelas sekaligus moderator, sudah menyiapkan aturan debat agar berjalan tertib."Baik, debat hari ini akan berlangsung dengan adil. Setiap kelompok akan diberi waktu untuk memaparkan alasan mereka memilih calon masing-masing, lalu ada sesi tanya jawab. Tidak boleh saling menghina, tidak boleh menyerang pribadi. Setuju?" kata Ruru tegas."Setuju!" sahut murid-murid serempak.
Kelompok pertama yang maju adalah pendukung Anriza, yang diwakili oleh Tira. Ia berdiri dengan percaya diri."Anriza adalah pilihan yang paling logis. Beliau seorang aktivis yang peduli dengan rakyat kecil dan sudah membuktikan kemampuannya saat menjadi gubernur. Kepemimpinan yang berlandaskan kepedulian dan keberanian adalah yang kita butuhkan!" ujar Tira dengan penuh semangatdiwakili oleh Iki. Dengan penuh semangat, ia berdiri dan berkata, "Kenapa kita harus pilih Ganuar? Karena dia bukan hanya mantan gubernur yang berprestasi, tapi juga punya wibawa dan kharisma! Pemimpin harus bisa menginspirasi rakyatnya!"
Nui tertawa kecil. "Hah, jadi kharisma lebih penting dari pengalaman?"
Iki membalas, "Kharisma itu penting! Dengan pemimpin yang punya daya tarik, rakyat akan lebih percaya dan mengikuti arahannya!"Perdebatan semakin panas, tapi tetap berjalan tertib sesuai aturan. Setelah semua kelompok menyampaikan argumen mereka, Ruru kembali mengambil alih."Oke, dari debat ini kita bisa melihat bahwa tiap calon punya kelebihan dan kekurangan. Intinya, memilih pemimpin bukan hanya soal suka atau tidak suka, tapi soal siapa yang paling mampu membawa negara ini ke arah yang lebih baik," ujar Ruru bijak.
Kelas hening sejenak. Beberapa murid saling bertukar pandang, menyadari bahwa mereka telah belajar banyak dari debat ini.Tira tersenyum pada Nui. "Ya udah, meskipun kita beda pilihan, yang penting kita udah saling mendengar."
Nui mengangguk. "Iya, dan debatnya seru juga."
Iki tertawa kecil. "Yang penting jangan berantem lagi ya."
Ruru menghela napas lega. "Nah, gitu dong. Begitu caranya berdebat yang sehat!"Debat selesai, tapi pelajaran yang mereka dapatkan akan mereka ingat selamanya bahwa demokrasi bukan tentang siapa yang paling keras, tapi tentang siapa yang paling bisa memahami dan menghargai perbedaan.
Suara Rakyat
oleh Sherly Febrianti
Pada suatu hari di Tenggarong, kota ini punya satu masalah besar yaitu mempunyai pemimpin yang tidak peduli dengan rakyat. Jalanan di banyak tempat sudah rusak parah, tapi tidak pernah diperbaiki. Harga kebutuhan pokok semakin naik, sementara bantuan dari pemerintah sulit didapat. Banyak warga mengeluh, tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan. Yang lebih parah, setiap pemilihan umum, warga masih saja memilih pemimpin yang sama.Ryan, seorang pemuda 25 tahun yang ahli di bidang teknologi, sudah lama memperhatikan masalah ini. Ia tumbuh besar di Tenggarong dan merasa sedih melihat kotanya semakin mundur.Suatu sore, Ryan duduk di warung kopi Pak Tono, tempat favorit warga untuk mengobrol."Pak, kenapa sih warga sini masih milih pemimpin yang sudah jelas tidak peduli sama rakyat?" tanya Ryan sambil menyeruput kopi hitamnya.Pak Tono menghela napas panjang. "Mungkin karena mereka nggak punya pilihan lain, Nak. Mereka nggak tahu siapa yang lebih baik.""Tapi kan sekarang banyak cara buat cari tahu informasi. Kenapa mereka tetap bingung?" tanya Ryan.Pak Tono tersenyum tipis. "Masalahnya, informasi tentang calon pemimpin itu susah didapat. Yang ada cuma baliho besar dengan slogan kosong. Nggak ada yang benar-benar menjelaskan apa rencana mereka buat rakyat."Ryan mengangguk. Ia juga pernah mencoba mencari tahu tentang para calon pemimpin, tapi yang ia temukan hanya janji-janji yang sama seperti pemilu sebelumnya."Harusnya mereka lebih terbuka soal visi dan misinya," kata Ryan."Harusnya begitu," jawab Pak Tono. "Tapi banyak pemimpin yang cuma janji tanpa bukti. Warga yang nggak punya informasi cukup akhirnya cuma milih yang paling mereka kenal."Ryan termenung. Sepertinya ini bukan cuma soal pemimpin yang buruk, tapi juga soal kurangnya informasi bagi rakyat.Malam itu, Ryan tidak bisa tidur. Ia terus berpikir bagaimana caranya agar warga bisa tahu lebih banyak tentang calon pemimpin mereka.Sebagai orang yang paham teknologi, ia akhirnya mendapatkan ide yaitu membuat Suara Rakyat, sebuah platform online tempat warga bisa berdiskusi, berbagi informasi, dan mengenal calon pemimpin lebih dalam.Keesokan paginya, Ryan menemui Pak Tono lagi di warung. "Pak, saya punya ide," kata Ryan semangat.Pak Tono menaikkan alis. "Apa itu, Nak?""Saya mau bikin platform online. Namanya Suara Rakyat. Nanti warga bisa ngobrol, berbagi informasi, dan membandingkan calon pemimpin di sana."Pak Tono tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Wah, ide bagus! Tapi yakin warga mau pakai?"Ryan mengangguk. "Sekarang banyak orang pakai HP, Pak. Kalau saya buat platformnya gampang dipakai, pasti mereka tertarik. Saya juga mau bikin debat publik biar warga bisa dengar langsung visi dan misi mereka."Pak Tono menepuk pundaknya. "Bagus, Nak! Bapak dukung! Kalau butuh bantuan, bilang saja!"Ryan langsung bekerja. Ia mengajak teman-temannya yang jago teknologi untuk membantu membangun platform. Dalam beberapa minggu, Suara Rakyat resmi diluncurkan.Awalnya, hanya sedikit warga yang menggunakan platform itu. Tapi setelah Ryan dan teman-temannya mulai menyebarkan informasi, banyak orang tertarik. Mereka mulai aktif berdiskusi, berbagi pendapat, dan bahkan mengkritik kebijakan pemimpin yang ada.Melihat antusiasme warga, Ryan semakin semangat. Ia lalu mengadakan acara debat publik untuk para calon pemimpin, agar warga bisa melihat langsung siapa yang layak dipilih.Hari debat tiba. Aula balai kota penuh sesak oleh warga yang penasaran ingin melihat calon pemimpin berbicara langsung.Ryan berdiri di depan panggung, membuka acara. "Hari ini, kita akan mendengar langsung jawaban dari calon pemimpin kita. Kita ingin tahu siapa yang benar-benar peduli dengan kota ini!"Di atas panggung, ada tiga calon pemimpin. Salah satunya adalah Sarah, seorang perempuan muda yang dikenal sering membantu rakyat kecil. Dua lainnya adalah politisi lama yang sudah sering mencalonkan diri.Seorang warga mengangkat tangan dan bertanya, "Kalau Anda terpilih, apa yang akan Anda lakukan untuk memperbaiki jalanan yang rusak?"Salah satu calon dari partai lama menjawab, "Kami akan meningkatkan pembangunan dan memperbaiki infrastruktur."Jawaban yang sama seperti pemilu sebelumnya.Ryan melirik ke Sarah. "Bagaimana dengan Anda?"Sarah tersenyum. "Setiap proyek pembangunan akan diumumkan di Suara Rakyat, supaya warga bisa tahu perkembangannya. Saya juga akan melibatkan masyarakat dalam perencanaan."Warga bersorak mendengar jawaban itu. Debat terus berlangsung. Semakin lama, semakin jelas siapa yang benar-benar peduli dan siapa yang hanya berbicara tanpa tindakan.Banyak warga yang awalnya ragu, kini mulai yakin siapa yang akan mereka pilih.Hari pemilihan akhirnya tiba. Kali ini, warga lebih siap. Mereka sudah tahu siapa yang benar-benar pantas dipilih.Saat hasil diumumkan, Sarah menang dengan suara terbanyak.Di warung kopi Pak Tono, Ryan dan warga berkumpul. Mereka tersenyum puas."Kita berhasil!" seru salah satu warga.Sarah datang dan menepuk pundak Ryan. "Terima kasih, Ryan! Tanpa Suara Rakyat, mungkin warga masih bingung memilih siapa."Ryan tersenyum. "Ini kerja kita semua. Yang penting, warga sekarang sadar kalau suara mereka itu berharga."Sarah mengangguk. "Saya janji akan jadi pemimpin yang jujur dan bekerja untuk rakyat."Pak Tono tersenyum bangga. "Anak muda seperti kalian ini harapan bangsa. Ini baru awal perubahan besar untuk Tenggarong!"Malam itu, Ryan pulang dengan perasaan bangga. Kota kecilnya akhirnya punya harapan baru.
Akhir Sang Demagong
oleh Zahra Shafa Salsabilla
Pada tahun 998 era Cratia, di negara yang bernama Gadhaviel. Telah terjadi banyak kekacauan,kepanikan,kemiskinan,korupsi,nepotisme dan perampasan hak asasi. Banyak rakyat yang hidup dalam kesengsaraan akibat ulah dari sang penguasa.Yang miskin rela mati demi bertahan hidup dan terinjak-injak,sedangkan yang memiliki kekuasaan dan jabatan tertawa dan menari-nari diatas penderitaan mereka.Sementara yang hidup diantara keduanya,hanya bisa terdiam membisu dan menutup mata,hati,serta telinga mereka. Karena mereka sadar, bahwa suara yang keluar dari mulut mereka tidak akan terdengar.Kebebasan para rakyat telah lama direbut, hukum yang malah mengekang dibanding melindungi, peraturan dan pasal-pasal yang menguntungkan para penguasa tamak, hukum sudah seperti sebuah barang yang dapat ditawar layaknya jual beli di pasar.Para hakim yang memberatkan timbangan melupakan kewajiban untuk tidak memihak, mata mereka telah tergoda dengan uang, nurani mereka telah lama tergantikan oleh nafsu ketamakan.Themis telah lama menutup mata, dia tersedu-sedu menitihkan air matanya melihat hukum yang ada di negeri ini. Andaikan dia dapat berbicara, sudah pasti ia akan menentangnya. Andaikan dia hidup bukan sebagai lambang hukum, tetapi sebagai manusia ia sudah pasti memberi mereka hukuman yang setimpal akibat menodai kesucian dari hukumnya.Lantas untuk apa demokrasi jika suara mereka tak pernah terpakai?
Apakah hukum yang mereka buat dapat dikatakan sebagai hukum?
Untuk apa negeri ini dibagun dengan rangka ideologi, berpondasi demokrasi, dibuat dengan kesatuan dan perjuangan, diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat,dan diresmikan oleh proklamasi?
Kenapa negara ini harus berakhir di tangan para penguasa ini dan berubah menjadi negara monarki?
Lantas apa arti perjuangan dari para leluhur kami dan para pahlawan revolusi?
Inikah hasil perjuangan yang disia-siakan?
Salah siapakah ini?Tidak ada yang tahu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terucap dari mulut ke mulut,dari tahun ke tahun,dari generasi ke generasi selanjutnya. Inilah pertanyaan yang terbesit di hati kecil para rakyat ketika ada seorang demagog muncul menjadi pemimpin mereka.Pada era ini, ada seorang penguasa yang disebut demagog bernama Narendra. Dia memiliki postur tinggi besar dengan sorot mata sinis dan sayu miliknya yang mampu memberikan intimidasi kepada orang yang melihatnya. Rambut ikal berwarna hitam kayu ebony sama seperti bola mata yang dimilikinya. Rambutnya sedikit memutih di bagian bawah telinga dan kumis tipis yang tumbuh di wajahnya.
Selalu berpakaian rapi dan memperhatikan keleganan yang dimilikinya. tampil dalam pakaian mewah sudah jadi kesehariannya. Dia selalu tak acuh dengan sekitarnya,entah apa hal apa dan masa lalu apa yang menghantui dirinya. Sehingga dia mengabaikan rakyatnya sendiri. Tak ada yang tahu, kecuali dirinya seorang.
Dia selalu berdiri angkuh, tak peduli cacian dan makian yang terlempar dari mulut rakyatnya,dia tetap bermuka tebal dan berpura-pura tuli. Layaknya obsidisan yang tak pernah retak,namun sangat tajam sehingga mudah melukai seseorang yang ingin memilikinya.“Dasar pemimpin gila! kau tidak akan pernah kami maafkan!”“Dasar demagog yang haus akan kekuasaan!”“Kau pikir kau dapat menjadi seoarang presiden karena siapa,hah?!”“Kau pikir bisa menjadi seorang presiden seperti ini karena ulahmu sendiri?Dasar kacang lupa kulit!”Itulah lontaran kata-kata dari warganya kepada dirinya,tak peduli bagaimanapun keadaanya dan diamanapun dia berada, dia akan selalu dihantui kata-kata itu. Layaknya bayangan yang
selalu mengikuti langkah kakinya berada dan berpijak.“LENGSERKAN DIA DAN SELURUH JAJARANNYA! WAKTUNYA KITA PARA RAKYAT BERSUARA ATAS KETIDAKADILAN INI!!”“LENGSERKAN SANG TIRANI ITU”“LENGSERKAN SANG DEMAGOG ITU!”“KAU HARUS TURUN DARI JABATANMU ITU! DASAR DEMAGOG GILA!”“IBLIS YANG TAK PUNYA URAT MALU! BEBASKAN KAMI DARI PENDERITAAN INI!”Para demostran yang darahnya sudah mendidih, meronta-ronta jiwanya,terbakar semagat pemberontakan dari dalam diri mereka. Mereka sudah muak tertindas,mereka sudah lelah dijadikan mainan dari para penguasa. Mereka yang medambakan kebebasan,sangat lantang bersuara demi tanah kelahiran mereka ini. Mereka tidak ingin dijajah oleh negeri mereka sendiri.Para pelajar,cendikiawan yang menepuh perjalanan panjang demi menimba ilmu, merekalah yang paling banyak meyumbangkan suara dalam pembebasan ini. Para pemuda yang menapaki kaki mereka demi menggendong yang tua,menuntun mereka berjalan ke arah kebebasan yang telah lama didambakan. Mereka lah yang menjadi ancaman besar bagi sang demagog yang sedang berkuasa ini,sekaligus benteng terakhir para warga,masyarakat,dan rakyat.Di kejauhan sang demagog Narendra, mengamati mereka di atas gedung pencakar langit yang tinggi yang memiliki fasilitas yang sangat mewah dan memadai. Dia merasa sangat terganggu akibat aksi para demonstran itu, dia takut akan kehilangan jabatannya.Ia juga telah banyak membungkam sejumlah massa yang ikut dalam aksi pembebasan itu, dia menggunakan segala cara agar meredakan amarah rakyatnya dengan berbagai ancaman,diantaranya munculnya Petrus,Ninja, dan berbagai aksi penculikan dan pembunuhan.Agar kedua tangannya tidak ternoda dan tidak diketahui bahwa ialah dalang dibalik semua kejadian itu,ia mengambing hitamkan beberapa tokoh masyarakat,criminal dan orang yang tidak tahu menahu tentang hal ini. Supaya segala tipu muslihatmya tidak pernah diketahui siapapun dan para masyarakat awam termakan konspirasi yang dibuatnya.Ia rela mengikatkan benangnya kepada para boneka yang ada di bawah kekuasaannya dan memotongnya kapan saja saat dia tidak membutuhkannya lagi.
Tak terhitung lagi jumlahnya, berapa banyak korbanya, dia tidak akan pernah peduli. Selagi tidak mengancam wewenang dan jabatannya, ia rela melakukan semua cara itu.“Bahkan batu pun akan terkikis bila terlalu sering terkena air hujan” itulah kata pepatah yang dapat menggambarkan dirinya saat ini. Dari batuan metamorf yang paling tajam menjadi batuan sendimen lalu menjadi batuan biasa yang sangat tumpul.“Seerat-eratnya kau menggenggam sesuatu,pada akhirnya suatu saat nanti kau akan kehilangan dia dari tanganmu karena ulahmu seorang.”
Dia terus melamun dan berdiam diri, memikirkan perkataan-perkataan itu. Tanpa ia sadari, bahwa istana negara dan gedung para anggota dewan sedang dicoba untuk digruduk paksa oleh para demonstran.“Pak!gawat!” Sang ajudan yang terengah-engah menghampirinya.“Ada apa?” dengan ekspresi datar ia bertanya pada ajudannya itu.“Istana dan Gedung,mereka-“ belum sempat ia berucap ,Narendra menyelanya.“Aku tahu,informasikan pada mereka...” dengan nada berat ia mengatakannya.“Lakukan ‘penghabisan’ pada mereka di tempat,tanpa terkecuali.” ia mengatakannya dengan tatapan tajam dan penuh amarah.“Tapi Pak...” dengan nada panik sang ajudan mengatakannya.“Lakukan seperti apa yang kuperintahkan,atau kau ingin kepalamu hilang disini?!” menatap sinis dan tidak suka kepada sang ajudan.Setelah mebuat Narendra marah dibuatnya,Sang ajudan bergegas untuk mengundurkan diri. Namun ada senyum tipis dari sang ajudan sebelum ia pergi meninggalkan Narendra, seolah-olah ia sedang bersiasat.Narendra kemudian duduk ke sofa yang halus dan nyamannya itu, ia menyalakan radio yang menjadi saksi bisu kesehariannya di tempat ini. Tak lama setelah ia menyalakan radionya, ia dikejutkan dengan berhasilnya para demonstran meduduki istana negara dan gedung dewan.Dia tidak percaya bahwa tentara dan polisi yang berjaga kalah telak melawan para demonstran yang tak berbekal senjata sepeserpun itu. Ia seakan tak percaya dan merasa bahwa dunianya runtuh dalam sekejap mata. Kepalanya pusing tak karuan seakan-akan pecah.Terbesit dalam pikirannya untuk segera kabur dari tempat ini,dengan Langkah terhuyung-huyung ia mencoba berjalan. Belum sempat ia menggapai pintu, terdengar suara dobrakan keras dari lantai dasar gedung pencakar ini.
Ia seakan-akan telah dikepung di segala arah. Layaknya domba yang akan menjadi santapan serigala. Ia pernah berpikir menjadi serigala yang berada di kawanan domba,namun kenyataanya malah sebaliknya.Dia kemudian kembali terduduk di sofa nyamannya dan mencoba menerima kenyataan yang ia takutkan saat ini. Dengan kaki terlipat dan tangan bertumpu di wajahnya,ia menunggu seseorang datang menghampirinya.
“Kalau ini adalah akhir dari eraku,maka cobalah untuk mengalahkan dan meyandarkanku. Tunjukkan padaku,seberapa kuat tekadmu untuk berhadapan denganku...”Ia mengatakannya dengan lantang dengan berani mendeklarasikan akhir kekuasaannya.
“Para mahasiswa berhasil menerobos masuk pintu yang terjaga ketat oleh pengamanan polisi, sekarang mereka sedang mencari keberadaan dari Presiden Narendra,Mereka ingin melengserkan dan menyeret presiden saat ini....”
“....membawanya ke hadapan para rakyat untuk diadili,bebrapa dari para dewan sudah berhasil ditaklukkan....”Narendra menutup matanya, menunggu untuk dijemput oleh sang revolusioner ke masa depan yang lebih tidak mereka ketahui.
Suara radio sudah tidak terdengar jelas bertepatan dengan munculnya suara langkah kaki yang menghampiri pintunya. Kemudian Sang revolusioner membuka paksa dengan satu tendangan kakinya ia membuka pintu yang tertutup rapat itu.“Sudah waktunya kau untuk turun dari jabatan yang kami anugerahkan padamu itu, wahai Demagog hina.” Sang revolusioner mengatakan dengan nada kesal.
“Kawananmu sudah kami taklukkan waktunya kau untuk menyerah, kau dan para rekanmu, segala konspirasi,omonganmu, dan eramu telah berakhir disini...” Sang revolusioner berkata dengan nada intimidasi,ia mengepal erat dendam di kedua tangannya.
Dengan senyum tipis menghias wajahnya, Ia melihat ke arah pemuda yang berhasil tiba dihadapannya ini. Pemuda yang terlihat familier, seperti pernah singgah di kehidupannya dahulu. Ia mengingatkannya pada dirinya saat masih muda dahulu,seorang revolusioner yang menjadi demagog.“Kenapa kau lebih mengingkan masa depan yang tidak pasti,dibandingkan dengan masa saat ini yang sudah terlihat jelas dimatamu?”“Maksudmu masa sekarang yang sangat kacau ini adalah hal yang pasti?”“Kau pikir nyawa manusia itu hanyalah mainanmu,banyak kemiskinan dan kelaparan dimana-mana. Inflasi yang mencapai titik terparah sepanjang masa.”“KAU PIKIR INI BAGUS UNTUK KAMI, NEGERI INI, BANGSA INI, DAN APAKAH INI YANG DIHARAPKAN PARA FOUNDING NATION INI KEPADA KITA?!”“Kami hanya berharap hidup damai,kami ingin negara ini maju, tanpa adanya kasus korupsi dan nepotisme di pemerintahan negeri ini...”“Dan....Karena kau juga...”“BANYAK ORANG YANG TERDAMPAK, BANYAK ORANG YANG TIDAK BERSALAH MENJADI BAGIAN DARI KONSPIRASIMU, BANYAK ORANG YANG DIKAMBING HITAMKAN, BANYAK KELUARGA TAK BERDOSA MATI DITANGANMU, KAU TAHU ITU KAN?!!”“KAU PIKIR KAU DAPAT MENGELABUI KAMI, PARA SAKSI. KAU BERPIKIR DAPAT MEBUNGKAM KEBENARAN DARI PARA PERS, KAU PIKIR KAU SUDAH MENGENDALIKAN MEREKA, PADAHAL KENYATAANNYA JAUH DI BAWAH KEPALAMU YANG KOSONG TAK BERISI ITU!!”“Kau mungkin bisa mengendalikan masyarakat awam, namun tidak bagi kami...para cendikiawan,pencari kebenaran dan pers yang memihak para rakyat...”
Setelah mengatakan kebenaran yang telah kabur di mata Narendra dan menyadarkannya bahwa ia telah lama meninggalkan rakyatnya sendiri. Sang revolusioner tak kuasa menahan tangis yang telah ia pendam dari lama. Tangannya yang tadinya mengepal banyak dendam kembali terbuka, karena harapan telah ada di tangannya.Narendra hanya tersenyum melihat pemuda di hadapannya ini. Ia dapat melihat banyak beban yang terpikul di pundaknya yang kecil itu.
“Kau belum menjawab pertanyaan dariku tadi...” Narendra hanya bisa menyeringai.“Jadi apa yang kau harapkan di masa depan untuk bangsa ini?” Narendra bertanya dengan nada pelan dan halus.“Aku mewakili para rakyat Gadhaviel, kami menginginkan masa depan yang cerah bagi bangsa ini,kami ingin bangsa ini menjadi bangsa yang damai,nyaman,tentram,dan sejahtera”“Kami berharap anak cucu kami tidak memikul beban berat yang kami tempuh saat ini, kami berharap di masa depan yang tidak pasti itu...bangsa ini dapat menjadi jantung dunia yang akan menjadi salah satu negeri yang paling berpengaruh dalam bidang apapun.”“Masa depan memang tidak pasti,namun dengan ketidakpastian itu kita melangkah maju tanpa keraguan dan tanpa rasa takut akan menyandarkan bagaimana masa depan itu adalah pilihan yang kita pilih di masa ini. Masa depan adalah buah dari masa lalu yang ditanamkan pada masa kini.”Kata-kata dari Sang revolusioner menyayat hati dan meluluhkan hati nurani Sang Demagog. Tanpa ia sadari matanya telah digenangi oleh air.“Baiklah Nak...Kau sudah meyadariku bahwa akulah yang terkekang oleh ideologiku sendiri.”“Aku telah lama terperangkat oleh sangkar yang bernama masa lalu...”“Siapa namamu?”Tanpa ia sadari, ia telah kembali ke dirinya yang semula. Tutur katanya yang lembut dan murah senyum,Narendra ‘sang revolusiner di era lampau’.“Mahesa...Namaku Mahesa Pramoda” mengenalkan dirinya dengan ramah.“ ‘Mahesa’ nama yang bagus...” ia tersentak dan tersanjung mendengarnya.Mereka merangkul tangan satu sama lain. Narendra meminta Mahesa untuk membawanya ke hadapan para rakyat untuk diadili. Mahesa terkejut Narendra menyerahkan dirinya secara sukarela, awalnya ia merasa curiga, namun melihat sorot mata Narendra yang telah berubah,ia memutuskan untuk mempercayai ucapan dan perkataan Narendra.Pada akhirnya Sang Penguasa Demagog Narendra berhasil dibawa dan diadili dihadapan rakyatnya sendiri. Dia diarak oleh kerumunan menuju istana negara untuk mendeklarasikan penurunan jabatannya sebagai Presiden di Gadhaviel.Dia dijatuhi hukuman mati oleh hakim agung,diatas meja sidang dan ketukan palu yang menandakan berakhirnya era Sang Demagog. Itu adalah hasil voting dari rakyatnya yang sudah muak dengan perbuatannya.Kemenangan ini tercapai karena adanya informan di dalam kekuasaan Narendra, yaitu ajudan pribadinya. Dia telah lama bergabung dengan para pemberontak itu, dan dialah yang bekerja dibelakang layar dibalik semua peritiwa ini dan otak dari segala perencanaan strategi ini, Oza namanya.Semua Pasal dan aturan yang mengekang para rakyat telah dihapuskan,Pasukan pemberontak meraih kemenangan telak, mereka bersulang untuk masa depan yang tidak pasti, dengan siklus yang sama tapi dengan ketetapan yang berbeda.“Mereka mungkin tidak tertulis dan tercatat dalam sejarah,namun merakalah sejarah itu sendiri”